KATA PENGANTAR
Tiada makhluk yang dapat bergerak, kecuali atas izin Allah SWT . Begitupula dengan hadirnya makalah ini, Allah berkehendak dan menggerakkan penulis untuk mewujudkannya. Oleh karena itu, puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. Sholawat serta salam selalu tercurah kepada Sang suri tauladan, yakni Rosulullah Muhammad SAW.
Makalah yang penulis susun ini berjudul Pengaruh industrialisasi terhadap Pendapatan Daerah di wilayah terbelakang Indonesia periode 1994-2008 (studi kasus di provinsi Banten, NTB, dan papua). Sebelumnya penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Dra. Neti Budiwati, M.SI selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan serta masukannya kepada penulis. Sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
penulis menyadari makalah yang penulis susun ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun masih sangat penulis harapkan dari para pembaca demi perbaikan makalah ke depannya. Penulis mugucapkan banyak terimakasih, semoga makalah yang penulis susun ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Bandung, Desemberr 2010
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………….1
DAFTAR ISI……………………………………………………………………...2
DAFTAR TABEL…………………………………………………………………3
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………...4
- Latar belakang……………………………………………………………..5
- Rumusan masalah………………………………………………………...10
- Tujuan penelitian………………………………………………………...10
- Kerangka pemikiran dan Hipotesis
4.1 Kerangka pemikiran………………………………………………….10
4.2 Hipotesis……………………………………………………………...12
- Metode penelitian
5.1 Objek penelitian……………………………………………………...12
5.2 Metode penelitian…………………………………………………….12
5.3 Operasianalsasi variable……………………………………………...13
5.4 Teknik Pengumpulan data…………………………………………....14
5.5 Teknik pengolahan data……………………………………………...15
5.6 Teknik analisis data…………………………………………………..15
5.7 Pengujian hipotesis…………………………………………………...16
5.7.1 uji t…………………………………………………………...16
5.7.2 Uji koefien Dterminasi…………………………………….....17
- Hasil dan pembahasan……………………………………………………18
- Kesimpulan dan Saran
7.1 Kesimpulan…………………………………………………………..25
7.2 Saran………………………………………………………………….25
- Referensi…………………………………………………………………27
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Perkembangan PDRB di wilayah terbelakang
Indonesia periode 1994-2008………………………..............................8
Tabel 5.1 Operasional Variabel…………………………………………………..14
Tabel 6.1 Perkembangan rata-rata PDRB dan jumlah industry di wilayah terbelakang indonesia periode 1994-2008…………………………….19
Tabel 6.3 Perkembangan jumlah industry di wilayah terbelakang
indonesia periode 1994-2008………………………………………….20
Tabel 6.5 Hasil Regresi…………………………………………………………..23
Tabel 6.6 Uji T…………………………………………………………………...24
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1 Bagan kerangka berpikir……………………………………………12
Gambar 6.2 Grafik perkembangan Rata-rata PDRB di wilayah t
terbelakang Indonesia periode 1994-2008 ………………………….19
Gambar 6.4 Grafik perkembangan rata-rata industry di wilayah
Terbelakang indonesia ………………………………………………22
PENGARUH INDUSTRIALISASI TERHADAP PENDAPATAN DAERAH DI WILAYAH TERBELAKANG INDONESIA PERIODE 1994-2008
(Studi kasus di provinsi Banten, NTB, dan Papua)
1. Latar Belakang
Bagi sebuah negara besar seperti Indonesia, kekayaan budaya dan alam merupakan potensi sekaligus tantangan yang harus diselaraskan dengan benar. Jika tidak bisa kebesaran negara Indonesia akan berangsur surut dengan sendirinya dikarenakan gerakan separatis. Sebagai contoh adalah negara Uni Soviet yang dulu pernah disebut Super Power, hari ini negara itu sudah menjadi negara kecil. Kenyataan ini bisa dijadikan obyek belajar bagi negara Indonesia untuk menyiapkan ramuan yang jitu dalam menyiasati kebesaran negaranya yang terdiri dari banyak pulau, suku, bahasa, agama, dan kekayaan alam.. Dari seluruh wilayah Indonesia 75 persen merupakan daerah pedesaan. Jika di hitung-hitung lagi, diantara 75 persen tersebut masih banyak yang merupakan daerah terbelakang atau terpencil. Salah satunya provinsi Banten yang terletak di Indonesia bagian Barat, provinsi NTB yang terletak di Indonesia bagian tengah, dan provinsi Papua yang terletak di Indonesia bagian Timur. Ketiga provinsi tersebut masih tergolong daerah terbelakang di wilayah bagian Indonesia. Hal tersebut bisa dilihat dari IPM dan PDRB nya yang masih rendah.
Provinsi Banten sebelum tahun 2000 merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat, namun saat ini telah menjadi provinsi sendiri berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000. Saat ini wilayah Banten tercatat memiliki luas 8.800,83 Km2 yang mencakup sisi barat dari Provinsi Jawa Barat dengan Serang sebagai ibu kota provinsi. Letak Provinsi Banten yang berada di ujung Barat Pulau Jawa memposisikan Banten sebagai pintu gerbang Pulau Jawa dan Sumatera bahkan sebagai bagian dari sirkulasi perdagangan Asia dan Internasional serta sebagai lokasi aglomerasi perekonomian dan permukiman yang potensial.
Namun provinsi banten saat ini masih tergolong daerah yang terbelakang memiliki PDRB yang rendah. dibanding dengan daerah lainnya di Indonesia bagian barat. Komoditi yang diunggulkan pada provinsi ini adalah bidang pariwisata, dengan kondisi alam yang dikelilingi pantai, pegunungan dan peninggalan sejarah, pengembangan kawasan wisata di lakukan pada beberapa lokasi seperti di kawasan wisata tanjung lesung, kawasan anyer, dan kawasan wisata ujung kulon. Namun komoditi ini tidak begitu berpengaruh besar pada perkembangan PDRB di Banten.
Begitu pula dengan kawasan Indonesia bagian tengah, Nusa tenggara Barat merupakan daerah yang masih tergolong sebagai provinsi terbelakang. Kondisi NTB sekarang sangat memprihatinkan, NTB itu termasuk daerah yang termiskin, terbelakang, dan terendah sumberdaya manusianya (diukur dari IPMnya). Memang pada dasanya bahwa keberadaan NTB "tidak diuntungkan" secara geografis. Keterisolasian wilayah, keadaan lahan dan infrasturstur yang kurang memadai menyebabkan keadaan NTB menjadi lambat berkembang. Lahirnya Newmont pada awalnya sangat diyakini bisa merubah keadaan NTB menjadi lebih baik, tetapi kenyataan yang ada seperti fatamorgana. NTB hanya bisa bangga punya Newmont tetapi tidak bisa menikmati hasilnya. Untuk mendapatkan 7% saja sahamnya untuk dimiliki oleh pemerintah NTB dengan harapan bisa meningkatkan pendapatan daerah, Tanya kenyataan itu itu belum dapat dirasakan oleh masayarakat NTB.
. Oleh karena itu, hal tersebut belum mampu memberi sumbangan yang besar pada PDRB NTB. Rendahnya PDRB NTB karena penggalian dan pertambangan yang memiliki andil cukup besar mengalami penurunan. Selain itu, Pemerintah provinsi NTB mengaku perekonomian NTB saat ini sangat bergantung pada PT Newmont Nusa Tenggara. Pasalnya 33-34 persen dari total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) provinsi tersebut berasal dari perusahaan asal Amerika Serikat.
Selain itu, daerah terbelakang yang terletak di bagian timur Indonesia adalah Papua. Papua adalah salah satu bagian dari Indonesia yang mempunyai ironi paling besar memiliki kekayaan alam begitu melimpah di satu sisi, kemiskinan dan keterbelakangan yang nampak dengan mata telanjang di sisi lain. Kawasan ini adalah kawasan yang paling akhir mendapatkan pengakuan internasional sebagai bagian dari Indonesia setelah Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) menyerahkan Papua ke Republik Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963 melalui negosiasi yang berat berhadapan dengan Pemerintah penjajah Belanda.
Pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia dinilai oleh masyarakat Papua sebagai pembangunan yang tidak berhasil. Salah satu indikatornya adalah adanya gejolak disintegrasi di kawasan ini, dengan digerakkan oleh berbagai kelompok separatis. Indikator lain yang memperkuat penilaian tersebut adalah munculnya gerakan besar dari masyarakat Papua untuk menjadikan Papua sebagai kawasan dengan perhatian khusus dari Pemerintah Indonesia. Bersama Aceh, Papua menjadi kawasan yang paling bergejolak setelah reformasi digulirkan pada tahun 1998. Kekecewaan yang mendalam terhadap perjalanan selama 35 tahun (19633-1998) menjadi bagian dari Republik Indonesia ditengarai menjadi bagian inti dari gejolak tersebut.
Ada pun Pendapatan Daerah Regional Bruto provinsi banten, NTB, dan papua dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan. Berikut ini tabel PDRB periode tahun 1994-2008 :
Tabel 1.1
Perkembangan PBRB di wilayah terbelakang Indonesia
periode 1994-2008
atas dasar harga konstan 2000
Tahun | Perkembangan PDRB (dalam satuan rupiah) | Rata-rata | ||
Banten | NTB | Papua | ||
1994 | 14.890.954,50 | 2.735.899 | 5.103.319,25 | 7.576.724,25 |
1995 | 14.920.687,54 | 2.955.628 | 6.132.975,46 | 8.003.097,00 |
1996 | 15.850.245,82 | 3.195.295 | 6.912.118,51 | 8.652.553,11 |
1997 | 15.895.980,20 | 3.363.240 | 7.501.813.93 | 9.629.610,10 |
1998 | 15.920.310,20 | 3.259.976 | 8.441.502,33 | 9.207.262,84 |
1999 | 16.230.057,43 | 3.362.136 | 8.148.249,93 | 9.246.814,45 |
2000 | 16.540.146,82 | 4.510.571 | 18.409.760,84 | 13.153.492,89 |
2001 | 17.340.653,94 | 4.770.688 | 20.046.524,06 | 14.052.622,00 |
2002 | 16.890.254,23 | 4.950.934 | 21.078.931,76 | 14.306.706,66 |
2003 | 51.957.457,73 | 5.109.436 | 21.019.416,67 | 26.028.770,13 |
2004 | 54.880.406,50 | 14.073.340,01 | 16.282.967,59 | 28.412.238,03 |
2005 | 58.106.948,22 | 15.183.788,95 | 22.209.192,69 | 31.833.309,95 |
2006 | 61.317.508,70 | 15.602.136,56 | 18.402.197,42 | 31.773.947,56 |
2007 | 107.499.652,42 | 16.369.220,45 | 19.200.297,42 | 47.689.723,43 |
2008 | 122.490.654,25 | 16.799.829,82 | 18.914.877,29 | 52.735.120,45 |
Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)
Sampai dengan tahun 2005, tercatat total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) untuk Provinsi Banten mencapai Rp. 58.106.948,22. Kontribusi sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 18,4% dan sektor pertanian sebesar Rp. sekitar 8,7% dari total PDRB. Setiap tahunnya PDRB terus meningkat sampai tahun 2008 mencapai Rp. 122.490.654,25
Pada tahun yang sama, Nusa Tenggara Barat juga mengalami kenaikan dalam PDRB. Pada saat itu NTB hasil pertanian dan pertambangan cukup memberikan andil kenaikan PDRB. Selain itu, Provinsi Nusa Tenggara Barat juga merupakan salah satu daerah tujuan wisata di Indonesia yang sedang mengalami peningkatan pertumbuhan kunjungan wisatawan selama periode 1999-2005 yang mencapai rata-rata 5,78 persen per tahun. Artinya, sector pariwisata juga sejak saat itu menjadi salah satu sumber pendapatan Daerah NTB.
Keadaan perekonomian Papua selama tahun 2005 nampak meningkat dari tahun 2004, beberapa sektor yang kinerjanya menurun pada tahun 2004 nampak menunjukkan peningkatan pada tahun 2005 sehingga besaran nilai PDRB juga meningkat.
Nilai nominal PDRB Papua setelah berpisah dengan Irian Jaya Barat yang terbentuk pada tahun 2005 adalah 22.209.192,69 rupiah, meningkat dari tahun 2004 yang bernilai 16.282.967,59 rupiah. Peningkatan sebesar 75,65 persen nampak sangat signifikan selama kurun waktu lima tahun terakhir ini. Sementara itu selama tahun 2000-2004 meningkatnya nilai tambah PDRB tidak lebih dari 20 persen. Penyebab meningkatnya nilai tambah PDRB yang sangat signifikan tersebut disebabkan oleh kenaikan produksi pada sub sektor penambangan tanpa migas (konsentrat tembaga), yang berimplikasi pada meningkatnya nilai tambah disektor pertambangan dan penggalian hingga dua kali lipat dari tahun 2004, sementara andilnya sangat besar terhadap pembentukan PDRB Papua yaitu rata-rata mencapai 65 persen.
Selain itu, untuk meningkatkan pembangunan ekonomi dan peningkatan PDRB, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat terus berupaya dengan melakukan berbagai kebijakan ekonomi. Hal ini dilakukan sebagai salah satu cara untuk mengatasi keterbelakangan di wilayah indonesia. Salah satu upayanya yaitu meningkatkan industialisasi. Namun industialisasi tersebut belum diketahui seberapa besar pengaruhnya terhadap PDRB di dearah terbelakang, khususnya Banten, NTB, dan papua. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis mengambil judul “Pengaruh industrialisasi terhadap Pendapatan Daerah di wilayah terbelakang Indonesia periode 1994-2008 (studi kasus di provinsi Banten, NTB, dan Papua)”
2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan maaslah dari penulisan ini ialah :
Bagaimana pengaruh industrialisasi terhadap pendapatan Daerah di wilayah terbelakang Indonesia?
3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penulisan ini ialah :
Untuk mengetahui pengaruh industrialisasi terhadap pendapatan Daerah di wilayah terbelakang Indonesia.
4. Kerangka Pemikiran dan Hipotesis
4.1 Kerangka Pemikiran
Dalam model pembangunan seimbang, diperlukan modal investasi secara besar-besaran di segala bidang secara serentak untuk mencapai tahap dimana dapar dicapai suatu kenaikan laju pertumbuhan secara keseluruhan. Ada asumsi penting dalam pendekatan ini, yaitu bahwa terdapat pelengkap-pelengkap teknis dan komersial diantara industry-industri baru pada berbagai tahap produksi dan sebagai sector dalam ekonomi yang dalam beberapa hal sesuai dengan external economic dan produksi yang berskala besar. Oleh sebab itu, teori pembangunan seimbang dinamakan juga oleh segolongan ahli ekonomi sebagai teori usaha besar-besaran (Big-push), atau thesis usaha minimum kritis (the critical minimum effort thesis) (Mynt 1967 : bab 7)
Yang merupakan alas an perlunya pembangunan seimbang adalah untuk menjaga agar dalam pembangunan tersebut tidak mengalami hambatan-hambatan dalam hal :
a. Memperoleh bahan mentah, tenaga ahli, sumber tenaga, dan fasilitas lainnya.
b. Memperoleh pasaran untuk barang-barang hasil produksi.
Teori Big-Push dikemukakan oleh Rosentein Rodan yang menulis gagasan untuk menciptakan program pembangunan di Eropa Selatan dan Tenggara, yaitu dengan mengadakan industrialisasi secara besar-besaran. Rosentein Rodan beranggapan bahwa mengadakan industrialisasi di daerah yang kurang berkembang merupakan cara untuk menciptakan pembagian yang lebih merata di dunia dan untuk meningkatkan pendapatan daerah tersebut dengan lebih cepat daripada daerah yang kaya. Dalam program tersebut industry harus dibangun secara serentak. Tujuan dari strategi ini adalah untuk menciptakan berbagai jenis industry yang mempunyai hubungan erat satu sama lain, sehingga setiap industry akan memperoleh ekonomi ekstern. (Rodan, 1957)
Scitovsky mengartikan ekonomi ekstern itu sebagai jasa-jasa yang diperoleh dengan percuma dengan suatu industry dari satu atau beberapa industry lainnya, (T. Scitovsky, 1954: 143-152). Dengan demikian apabila suatu perusahaan memperoleh ekonomi ekstern, maka ongkos produksi dapat dikurangi dan perusahaan tersebut dapat melaksanakan kegiatan lebih efisien.
Menurut Rosentein Rodan, pembangunan industry secara besar-besaran akan menciptakan tiga macam ekonomi ekstern, yaitu ekonomi ekstern yang diakibatkan oleh perluasan pasar, ekonomi ekstern yang diakibatkan oleh karena industry yang sama letaknya berdekatan, dan ekonomi ekstern yang diakibatkan adanya industry lain dalam perekonomian tersebut. Menurut Rosentain, yang pertamalah yang paling penting.
Pendapat Nurkse tidak banyak berbeda dengan Rosentein Rodan dalam mengemukan alasan tentang perlunya menjalankan program pembangunan seimbang. Dan analisisnya, ia menekankan bahwa pembanguna ekonomi bukan saja menghadapi kesukaran dalam memperoleh modal yang diperlukan, tetapi juga dalam mendapatkan pasaran umtuk barang-barang yang dihasilkan oleh berbagai industry yang akan dikembangkan. Agar Negara-negara berkembang dapat melepaskan diri dari lingkaran kemiskinan, perlu dilaksanakan program pembangunan seimbang, yaitu dalam waktu bersamaan dilaksanakan penanaman modal di berbagai ibdustri yang mempunyai kaitan erat satu sama lain.
Secara skematik paradigma berpikir industrialisasi terhadap pendapatan daerah di provinsi papua sebagai berikut:
Bagan 4.1
Kerangka Pemikiran
4.2 Hipotesis
Hipotesis adalah apabila peneliti telah mendalami permasalahan penelitiannya dengan seksama serta menetapkan anggaran dasar, maka lalu membuat suatu teori sementara, yang kebenarannya masih perlu diuji (di bawah kebenaran). (Suharsimi Arikunto, 2006:71)
Adapun hipotesis dari penulisan ini adalah : industrialisasi berpengaruh positif terhadap pendapatan Daerah di wilayah terbelakang indonesia.
5. Metode Penelitian
5.1 Objek Penelitian
Objek dalam penelitian ini adalah menganalisis bagaimana pengaruh industrialisasi terhadap pendapatan Daerah di provinsi papua periode tahun 1994-2008
5.2 Metode Penelitian
Sugiyono dalam bukunya, “Metode Penelitian Bisnis” (2003 : 1) menjelaskan bahwa:” metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Cara ilmiah berarti kegiatan penelitian itu didasarkan pada ciri-ciri keilmuan, yaitu rasional, empiris, dan sistematis”.
Metode merupakan sutau cara ilmiah yang dilakukan untuk mencapai maksud dan tujuan tertentu. Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini yaitu metode deskriptif analitik. Metode penelitian deskriptif analitik merupakan suatu metode penelitian yang bermaksud untuk memperoleh informasi mengenai suatu gejala dalam penelitian, gambaran suatu fenomena, lebih lanjut menjelaskan mengenai pengaruh dan hubungan dari suatu fenomena, pengujian hipotesis-hipotesis sehingga dapat ditemukan suatu pecahan masalah dari permasalahan yang sedang dihadapi.
Dengan demikian, penelitian ini bermaksud memperoleh deskripsi mengenai industrialisasi dan pendapatan daerah, di provinsi papua periode 1994-2008. Serta untuk mengetahui pengaruh diantara variable tersebut.
5.3 Operasionalisasi Variabel
Operasionalisasi variabel merupakan penjabaran konsep-konsep yang akan diteliti, sehingga dapat dijadikan pedoman guna menghindari kesalahpahaman dalam menginterpretasikan permasalahan yang diajukan dalam penelitian. Operasionalisai variabel ini dibagi menjadi konsep teoritis, konsep empiris, dan konsep analitis sebagai berikut :
Tabel 5.1
Operasionalisasi Variabel
Variabel | Konsep Teoretis | Konsep Empiris | Konsep Analitis | Skala | ||
Variabel Terikat (Y) | ||||||
Pendapatan daerah | Pendapatan suatu daerah pada suatu periode tertentu, yang biasanya satu tahun. | Jumlah pendapatan daerah provinsi papua tahun 1994-2008 (dalam ruipiah) | Besarnya jumlah pendapatan daerah di provinsi papua Indonesia tahun 1994-2008 | Interval | ||
Variabel Bebas (X) | ||||||
Industrialisasi | Proses perubahan dari agraris ke industry. | Jumlah industri di provinsi papua tahun 1994-2008 | Data jumlah industri di provinsi papua tahun 1994-2008 | Interval | ||
5.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan proses bagaimana data itu diperoleh dan dikumpulkan. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
- Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data dengan mencatat data-data yang sudah ada. Dalam hal ini penulis mencatat data-data yang diperlukan dalam penelitian, yang sudah dikelola BPS. Studi ini digunakan untuk mencari hal-hal yang berupa catatan, laporan maupun dokumen lainnya yang berkaitan dengan penelitian.
2. Studi Kepustakaan, yaitu mempelajari teori-teori yang ada atau literatur-literatur yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti baik dari buku, jurnal, , artikel, , internet, atau bacaan lainnya yang berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi, khususnya di provinsi papua.
5.4 Teknik Pengolahan Data
Langkah-langkah penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Menyeleksi data yang sudah terkumpul
Menyeleksi data dilakukan untuk mengetahui dan memeriksa lengkap tidaknya data yang dikumpulkan. Hal ini dilakukan dengan cara memilih dan memeriksa kesempurnaan dan kejelasan dari data yang bersangkutan.
2. Mentabulasi Data
Mentabulasi data yaitu menyajikan data yang telah diseleksi dalam bentuk data yang siap untuk diolah menjadi tabel-tabel yang selanjutnya akan ditelaah dan diuji secara sistematis.
3. Menganalisa Data
Menganalisis data berarti mengetahui pengaruh maupun hubungan antar variabel dalam penelitian, dengan menggunakan teknis analisis yang tepat.
4. Melakukan Pengujian Hipotesis
Fungsi hipotesis adalah untuk member suatu pernyataan terkaan tentang hubungan tentative antara feoimena-fenomena dalam penelitian. Kemudian hubungan tentative ini akan diuji validitasnya menurut teknik-teknik yang sesuai untuk pengujian.
5.6 Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi sederhana. Regresi sederhana digunakan untuk menganalisis pengaruh industrialisasi terhadap pendapatan daerah. Alat bantu analisis yang digunakan yaitu dengan menggunakan program komputer Econometric Views (EViews) versi 3. 1. Adapun Persamaan regresinya sebgai berikut:
Y = f (X1)
Hubungan tersebut dapat dijabarkan ke dalam bentuk model fungsi regresi sebagai berikut:
Y = β0 + β1 X1 + ê
Dimana:
β0 = Konstanta
X1 = industrialisasi
Y = Pendapatan Daerah
ê = Variable penggangu
5.7 Pengujian Hipotesis
Untuk menguji hipotesis maka penulis menggunakan uji statistik berupa uji t dan uji koefisien determinasi.
5.7.1 Uji T
uji t ini bertujuan untuk menguji tingkat signifikansi dari setiap variabel bebas secara parsial terhadap variabel terikat.
Uji t statistik ini menggunakan rumus :
Hipotesis dalam penelitian ini secara statistik dapat dirumuskan sebagai berikut:
Ho : β = 0 artinya tidak ada pengaruh antara varibel X terhadap variabel Y
Ha : β ≠ 0 artinya ada pengaruh antara varibel X terhadap varibel Y
Kaidah keputusan:
Kriteria untuk menerima atau menolak hipotesis adalah menerima H0 jika t hitung < t tabel dan menolak H0 jika t hitung > t tabel. Dalam pengujian hipotesis melalui uji t tingkat kesalahan yang digunakan peneliti adalah 5% atau 0,05 pada taraf signifikansi 95%.
5.7.2 Uji Koefisien Determinasi
Koefisien Determinasi (R2) merupakan cara untuk mengukur ketepatan suatu garis regresi. Menurut Gujarati (2001:98) dalam bukunya Ekonometrika dijelaskan bahwa koefisien determinasi (R2) yaitu angka yang menunjukkan besarnya derajat kemampuan menerangkan variabel bebas terhadap terikat dari fungsi tersebut.
Hal yang penting pula dilakukan di dalam suatu penelitian yakni menguji koefisien determinasi. Hal tersebut dilakukan dengan cara pengukuran ketepatan suatu garis regresi dengan R2 yaitu angka yang menunjukan besarnya derajat kemampuan menerangkan variabel bebas (0 < R2 < 1) dimana semakin mendekati 1 maka semakin dekat pula hubungan antar variabel bebas dengan variabel terikat atau dapat dikatakan bahwa model tersebut baik, demikian pula sebaliknya.
Pengaruh secara simultan variabel X terhadap Y dapa dihitung dengan koefisien determinasi secara simultan melalui rumus :
R2= Jumlah kuadrat yang dijelaskan/Regresi(ESS)
Jumlah kuadrat total(TSS)
Keterangan:
(Gujarati, 2001:139)
Nilai R2 berkisar antara 0 dan 1 (0<R2<1), dengan ketentuan sebagai berikut :
· Jika R2 semakin mendekati angka 1, maka hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat semakin erat/dekat, atau dengan kata lain model tersebut dapat dinilai baik.
· Jika R2 semakin menjauhi angka 1, maka hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat jauh/tidak erat, atau dengan kata lain model tersebut dapat dinilai kurang baik.
6. Hasil dan Pembahasan
6.1 Hasil Penelitian
Perkembangan PDRB provinsi terbelakang dari tahun ke tahun cenderung mengalamin kenaikan, tapi jumlah industrinya cenderung berfluktuasi. Di bawah ini data perkembangan rata-rata PDRB dan industry di provinsi terbelakang periode 1994-2008 :
Tabel 6.1
Perkembangan Rata-rata PDRB dan jumlah industry
di wilayah terbelakang
Periode 1994-2008
Tahun | PDRB (satuan rupiah) | Jumlah industry (unit) |
1994 | 7.576.724,25 | 14966 |
1995 | 8.003.097,00 | 15471 |
1996 | 8.652.553,11 | 16712 |
1997 | 9.629.610,10 | 18062 |
1998 | 9.207.262,84 | 18257 |
1999 | 9.246.814,45 | 19938 |
2000 | 13.153.492,89 | 21548 |
2001 | 14.052.622,00 | 22487 |
2002 | 14.306.706,66 | 21533 |
2003 | 26.028.770,13 | 21860 |
2004 | 28.412.238,03 | 21991 |
2005 | 31.833.309,95 | 21881 |
2006 | 31.773.947,56 | 24889 |
2007 | 47.689.723,43 | 25962 |
2008 | 52.735.120,45 | 28666 |
Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)
Grafik 6.2
Perkembangan Rata-rata PDRB provinsi terbelakang periode 1994-2008
Nilai nominal PDRB provinsi terbelakang dari tahun ke tahun cenderung mengalami kenaikan. Hal ini terjadi karena jumlah industry juga dari tahun ke tahunnya mengalami kenaikan. Industri yang didirikan di provinsi terbelakang di Indonesia juga mempengaruhi PDRB provinsi tersebut. Berikut ini perkembangan industry di wilayah terbelakang Indonesia:
Tabel 6.3
Perkembangan jumlah industry di wilayah terbelakang
Periode 1994-2008
Tahun | Perkembangan industry (unit) | Jumlah | Rata-rata | ||
Banten | NTB | Papua | |||
1994 | 1493 | 39529 | 3877 | 44899 | 14966 |
1995 | 1516 | 40907 | 3990 | 46413 | 15471 |
1996 | 1532 | 45038 | 3565 | 50135 | 16712 |
1997 | 1556 | 48888 | 3743 | 54187 | 18062 |
1998 | 1667 | 49286 | 3819 | 54772 | 18257 |
1999 | 1691 | 54002 | 4121 | 59814 | 19938 |
2000 | 1560 | 58913 | 4172 | 64645 | 21548 |
2001 | 1664 | 61599 | 4197 | 67460 | 22487 |
2002 | 1638 | 60215 | 2747 | 64600 | 21533 |
2003 | 1576 | 61221 | 2782 | 65579 | 21860 |
2004 | 1638 | 61449 | 2886 | 65973 | 21991 |
2005 | 1605 | 61004 | 3035 | 65644 | 21881 |
2006 | 1809 | 69538 | 3319 | 74666 | 24889 |
2007 | 1804 | 72538 | 3545 | 77887 | 25962 |
2008 | 1846 | 80740 | 3413 | 85999 | 28666 |
Pesatnya industrialisasi di Banten terlihat dari peningkatan nilai produk domestik regional bruto (PDRB). Pada 2002, PDRB Banten baru mencapai Rp. 16.890.254,23 Jumlahnya terus meningkat, sampai Rp 61.317.508,70 pada 2006. Bahkan pada tahun 2007, nilai PDRB melonjak hingga Rp. 122.490.654,25 Data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Banten, sektor industri pengolahan memiliki kontribusi terbesar terhadap PDRB. Setiap tahun, sektor industri pengolahan menyumbang 49,28 persen PDRB. Sumbangan PDRB itu berasal dari pendapatan yang dihasilkan lebih dari 1.500 pabrik di sepanjang pantai barat hingga pantai utara Banten. Pabrik-pabrik tersebut tersebar di 18 kawasan industri yang membentang dari Anyer, Ciwandan, Kragilan, Cikande, Balaraja, hingga Cikupa. Namun, pesatnya industrialisasi di Banten berbanding terbalik dengan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Sedikitnya sebelas sektor penyusun industri priwisata yang memberikan dampak ekonomi cukup kuat di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Enam sektor diantaranya memiliki keterkaitan dalam pengembangan industri, sektor industri mutiara, restoran, angkutan travel dan wisata, perhotelan non berbintang, angkutan udara dan industri ukiran kayu. Sisanya, perhotelan berbintang, industri gerabah, penukaran uang, atraksi budaya dan pramuwisata belum menjadi sektor kunci. Dampak Ekonomi Industri Pariwisata Provinsi Nusa Tenggara Barat, disebutkan bahwa Provinsi Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu daerah tujuan wisata di Indonesia yang sedang mengalami peningkatan pertumbuhan kunjungan wisatawan selama periode 1999-2005 yang mencapai rata-rata 5,78 persen per tahun.
Nilai nominal PDRB Papua setelah berpisah dengan Irian Jaya Barat yang terbentuk pada tahun 2005 adalah 22.209.192,69 rupiah, meningkat dari tahun 2004 yang bernilai 16.282.967,59 rupiah. Peningkatan sebesar 75,65 persen nampak sangat signifikan selama kurun waktu lima tahun terakhir ini. Sementara itu selama tahun 2000-2004 meningkatnya nilai tambah PDRB tidak lebih dari 20 persen. Penyebab meningkatnya nilai tambah PDRB yang sangat signifikan tersebut disebabkan oleh kenaikan produksi pada sub sektor penambangan tanpa migas (konsentrat tembaga), yang berimplikasi pada meningkatnya nilai tambah disektor pertambangan dan penggalian hingga dua kali lipat dari tahun 2004, sementara andilnya sangat besar terhadap pembentukan PDRB Papua yaitu rata-rata mencapai 65 persen.
Gambar 6.4
Perkembangan Rata-rata jumlah industri provinsi terbelakang periode 1994-2008
Dari data gambar di atas, baik PDRB ataupun jumlah industry di wilayah terbelakang Indonesia rata-rata cenderung mengalami kenaikan. Setiap wilayang tersebut memang memiliki potensi yang bisa digali dan dijadikan sebagai sumber pemasukan untuk daerahnya. Seperti Papua dengan hasil tambang dan galiannya, NTB dengan industry pariwisatanya, dan Banten dengan industry dan merupakan tempat strategis sebagai salah satu jalur laut potensial.
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan Eviews 3.1, data yang diperoleh dari hasil pengujian Eviews yang terlihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 6.5 hasil Regresi
Dependent Variable: LOG(Y) | | | ||
Method: Least Squares | | | ||
Date: 12/21/10 Time: 11:09 | | | ||
Sample: 1994 2008 | | | ||
Included observations: 15 | | | ||
| | | | |
| | | | |
Variable | Coefficient | Std. Error | t-Statistic | Prob. |
| | | | |
| | | | |
C | -15.82865 | 4.522773 | -3.499767 | 0.0039 |
LOG(X) | 3.267392 | 0.455212 | 7.177735 | 0.0000 |
| | | | |
| | | | |
R-squared | 0.798512 | Mean dependent var | 16.62933 | |
Adjusted R-squared | 0.783013 | S.D. dependent var | 0.678672 | |
S.E. of regression | 0.316138 | Akaike info criterion | 0.658292 | |
Sum squared resid | 1.299264 | Schwarz criterion | 0.752698 | |
Log likelihood | -2.937187 | F-statistic | 51.51989 | |
Durbin-Watson stat | 0.620115 | Prob(F-statistic) | 0.000007 | |
| | | | |
| | | | |
Sumber : Pengujian eviews
Dari hasil output eviews tersebut, diperoleh persamaan model sebagai berikut:
= -15.82865 + 3.267392X1 + e
T = (-3.499767) (7.177735)
R2 = 0.798512
Keterangan:
= PDRB
X1 = industrialisasi
Berdasarkan hasil pengujian di atas, nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.798512 atau 79,8 %. Artinya variasi PDRB dijelaskan oleh industri sebesar 79,8 %, dan sisanya sebesar 20,2 % dijelaskan oleh variabel lain di luar model.
· Uji t
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini yaitu dengan pengujian satu sisi atau satu ujung, hal ini dilakukan karena pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat sudah ditetapkan. Tingkat keyakinan yang digunakan sebesar 95% atau tingkat signifikansi 5% (α = 5%) pengujian hipotesis sebelah kanan dengan kriteria thitung > ttabel maka H0 ditolak dan H1 diterima.
Table 6.6 Uji t
Variabel | thitung | ttabel | keputusan | Pengaruh |
industrialisasi | 7.177735 | > 1.771 | Menerima H1 | Signifikan |
| | | | |
Sumber: Pengujian estimasi Eviews
· Koefisien Determinasi (R2)
Berdasarkan hasil estimasi dalam tabel sebelumnya diperoleh nilai R2 sebesar 0.798512atau 79,8 %. Artinya industrialisasi dapat menjelaskan tingkat PDRB sebesar 79,8 %, sedangkan sebesar 20,2 % merupakan faktor lain yang tidak dapat diketahui. Dengan hasil R2 sebesar 0.798512 ini berarti penelitian dianggap baik, karena jika nilai R2 berada diantara 0 (nol) dan 1 (satu) semakin mendekati 1 berarti model penelitian semakin baik.
6.2 Pembahasan penelitian
Dari hasil analisis di atas, maka dapat diketahui bahwa industrialisasi secara signifikan mempengaruhi PDRB di wilayah terbelakang Indonesia. Industrialisasi memiliki pengaruh positif, karena nilai t hitungnya sebesar 7.177735 lebih besar dari t tabel yaitu sebesar 1.771, dimana kenaikan jumlah industry akan menyebabkan pula kenaikan PDRB di wilayah tersebut, dan juga sebaliknya. Dari nilai estimasi penilitian, PDRB wilayanh terbelakang Indonesia dipengaruhi oleh industrialisasi sebesar 3.267392, dimana setiap kenaikan industry 1 unit maka akan menaikan PDRB sebesar 3.267 rupiah. Selain itu, industrialisasi yang paling berpengaruh untuk pendapatan daerahnya adalah provinsi Banten, walaupun jumlah industri di banten lebih sedikit dibanding NTB dan Papua, tapi potensi industrinya sangat bagus. Sedangakan sumbangan untuk PDRB Papua berasal dari sumber daya alam khususnya pertambangan dan galian.Tapi walaupun begitu, sector industry di provinsi NTB dan papua signifikan terhadap PDRB propinsinya masing-masing. Jadi secara keseluruhan, adanya industrialisasi di wilayah terbelakang Indonesia berpengaruh positif terhadap PDRB.
7. Kesimpulan dan Saran
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan penghitungan data yang dijelaskan pada paparan sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan bahwa industrialisasi berpengaruh positif terhadap PDRB di wilayah terbelakang indonesia pada periode 1994-2008. Artinya jika jumlah industri meningkat, maka PDRB pun akan meningkat,
7.2 Saran
Menurut penulis, pemerintah harus mampu melihat peluang yang ada di setiap wilayah, terutama di wilayah yang terbelakang, karena setiap wilayah memiliki potensinya masing-masing. Menurut analisis penulis, ketika industrialisasi tidak dapat memberi pengaruh yang besar terhadap peningkatan PDRB, maka pemerintah harus mampu melihat sektor apa yang dapat dikembangkan sehingga sektor tersebut dapat diolah secara optimal. Misalnya saja, di provinsi papua. Menurut sumber lain, walaupun industri juga berpengaruh pada PDRB provinsi papua, namun ada sektor lain yang berpengaruh besar pada PDRB provinsi papua, yaitu pertambangan dan galian. Oleh karena itu, pemerintah harus benar-benar mampu mengelola aset ini dengan seoptimal mungkin.
Selain itu, solusi konkrit yang dapat dilaksanakan oleh pemerintah yaitu sebaiknya pemerintah memperbaiki ketimpangan anggaran di Indonesia. Pasalnya, menurut data sejauh ini komposisi anggaran lebih berpihak ke pemerintah pusat daripada ke pemerintah daerah, artinya memeng harus ada perlakukan khusus terutama dalam hal penganggaran untuk wilayah-wilayah terbelakang di Indonesia. 70 persen APBN dikelola di pusat dan hanya 30 persen saja yang digelontorkan ke daerah. Dimisalkan, selama ini APBN sebesar Rp 1.000 triliun, dikelola pusat sebesar Rp 700 triliun. Sementara untuk daerah hanya Rp 300 triliun. Hal itulah menurut penulis yang memicu pembangunan di Indonesia tidak pernah seimbang antara daerah yang satu dengan daerah lainnya.
Menurut analisis penulis, sesuai sumber yang penulis baca ada kebijakan pusat yang dirasa kurang tepat. Dimana, para menteri Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II ingin membangun Indonesia sesuai dengan program-program dari sudut pandang kementeriannya masing-masing. Program-program nasional yang dibuat, diminta untuk didukung dan dilaksanakan juga di daerah. “Upaya itu tidak tepat,”. Pasalnya, pemda setempatlah yang jauh lebih mamahami kondisi dan potensi yang dimiliki daerahnya untuk dibangun. Program nasional yang dicanangkan beberapa menteri terkadang tidak sesuai dengan daerah yang dijadikan daerah sasaran proyek. Hal itu disebabkan, kurang sinkronnya program pemerintah pusat dengan daerah.
Pemerintah pusat seharusnya memberikan porsi anggaran yang lebih besar ke daerah, daripada dikelola pusat. Pemberian anggaran yang lebih banyak ke daerah itu, akan membuat percepatan pembangunan daerah, karena daerah sendiri yang nantinya mengatur prioritas pembangunan di daerahnya masing-masing. Salah satu peran DPD RI, yakni memperjuangkan hal itu. Penulis mengharapkan, anggaran pemerintah pusat yang saat ini jauh lebih besar dibalik pembagiannya. Sebesar 30 persen saja untuk pusat dan sisanya untuk daerah sebesar 70 persen. Sehingga pembangunan di daerah bisa lebih cepat.
8. Referensi
Kuncoro, Mudrajad. (2006). Ekonomika Pembangunan. Teori, Masalah dan Kebijakan. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.
Sukirno, Sadono. (2004). Makroekonomi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Suryana. 2000. Ekonomi Pembangunan Problematika dan Pendekatan. Jakarta: Salemba Empat
Widarjono, Agus. (2005). Ekonometrika Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Ekonisia
Gujarati, Damodar. (Tanpa Tahun). Ekonometrika Dasar. Penerbit: Erlangga.
Winaryo, Wing Wahyu. (2007). Analisis Ekonometrika dan Statistika Eviews. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.
Statistik Indonesia. Berbagai Edisi, BPS
Tersedia:
www.ahmadheryawan.com/.../864-big-push-a-daerah-tertinggal.html
www.docstoc.com/docs/22705054/Teori-Pertumbuhan.
rezaldialife1404.blogspot.com/.../starting-economics-development-bigpush.htm
www. jurnal. Karya Tulis Ilmiah Pembangunan Daerah Tertinggal. tidak diterbitkan
www.industrialisasi banten.com
blog.unila.ac.id/agushadiawan/files/2009/07/NTB-3.ppt
Tidak ada komentar:
Posting Komentar